Sabtu, 29 November 2014

PETUALANGAN 


       Setibanya di tenda lau kawar kami bergegas kembali melaksnakan sholat berjamaah yang dipimpin oleh fahmi. Setelah makan malam selesai kami mulai agenda berikutnya yaitu membuat lingkaran dan membakar kayu dengan api yang cukup menghangatkan kami, dan ketika orang terbesar yang diangungkan itu datang namanya pak prapto yang jauh jauh datang dari Jakarta untuk mengisi acara pada agenda Fire Night. 
       
         Pak prapto menegaskan kenapa saya meminta kalian untuk mendengarkan saya disini dan tidak di dalam ruangan itu karena saya ingin kita semua merasa lebih dekat lagi dengan alam dan tuhan penciptanya, saya ingin ada yang berbeda makanya saya katakan kepada panitia bahwa acara ini diusahakan berada di outdoor semua dan jika ada pun di dalam hanya sekali sekali jika memang keadaan di luar tidak memungkinkan, bukankah begitu para pemuda pencinta alam!!! Dengan tegas pak sucipto mengatakan “Saya bangga ini merupakan kegiatan kali pertama dari seluruh mapala dan baru mapala sumatera ini yang mengadakan acara yang seperti ini saya sangat setuju ketika dani menghubungi saya dan membicarakan program kerja mereka ini saya sangat begitu antusias dan sangat tertarik, kalau bisa ini dapat bergantian setiap tahunnya dari masing masing organisasi mapala yang datang pada saat ini untuk melakukan kegiatan yang serupa dan memperkenalkan budaya alam yang ada di daerah tersebut, langsung saja disini saya ingin merenungkan sedikit cerita ketika saya masih beranjak remaja ketika itu kehidupan keluarga kami memang cukup dan kedua orangtua saya mampu untuk membiayai kuliah kami anak-anaknya. 
   
       Hingga ketika saya sedang mengikuti suatu ekspedisi jalanan sebagai seorang sukarelawan di kota ketika saya kuliah dulu tepatnya ketika itu kami sedang mengumpulkan kaum marjinal dan yang kurang mampu, saya melihat dengan tragis seorang anak kecil yang ketika itu sudah jam 3 pagi harus berkeliaran di jalan dengan mengumpulkan kardus kardus bekas bahkan mengutip sisa sisa nasi di jalanan yang mungkin kita saja sudah mau muntah mencium aromanya tetapi dia malah membawa sisa sisa makanan itu membawanya pulang ke rumah. 

       Saya sangat terkejut ketika melihat keadaan rumah yang begitu tidak lanyak untuk dihuni dengan tumpukan-tumpukan kardus dan sampah yang bertebaran di dalam rumah tua itu, saya melihat seorang bapak yang terbujur lemah tak berdaya, Agus menceritakan bahwa ayahnya sudah setahun terakhir begini, karena lumpuh maka agus yang menggantikan bapak menjadi pemulung setiap pulang sekolah agus harus kerja agar agus bisa membeli obat buat bapak dan membeli makanan buat kami semua, dengan kesederhanaan hidup dan ketegaran itu agus terus bekerja keras buat menghidupi 2 adik, ibu dan bapaknya, Ibunya juga sudah tua yang bekerja sebagai tukang cuci keliling namun sejak bapaknya sakit agus melarang ibunya bekerja dan tetap untuk di rumah merawat bapak dan adik adiknya yang ketika itu juga masih sekolah kelas satu dan tiga SD sementara agus yang baru kelas 6 sd sudah harus melawan getirnya kehidupan tanpa bantuan seseorang yang peduli terhadap mereka itu lah kejamnya hidup, Bahkan yang lebih sedih lagi ketika saya melihat satu-satunya foto yang terletak di atas pembaringan ayahnya, saya melihat bahwa ayahnya adalah seorang mantan veteran namun kenapa mereka tidak dianggap dan seolah olah pemerintah tidak melihat hal itu, agus dan adik-adiknya merupakan anak dari istri keempatnya karena bapaknya sudah empat kali menikah namun pernikahannya gagal semua karena istri istrinya terdahulu tidak bisa menerima bapak agus yang hanya seorang pekerja kuli bangunan ketika mereka pergi satu persatu dan akhirnya bertemu dengan ibu agus pada usia senja dan melahirkan 3 orang anak yang memang hanya itu dimiliki bapaknnya sebab dari istri pertama hingga ketiganya memang tidak memiliki anak.

       Saya sangat sedih melihat keadaan mereka maka ketika itu saya dan kawan kawan saya membantu kehidupan mereka bertahun tahun saya ajarkan bagaimana agus tumbuh menjadi seorang anak yang mandiri, perkasa dan tangguh tanpa harus masuk ke dalam jurang ketidakadilan yang selama ini menimpa keluarga mereka hingga kini agus telah sukses dan berhasil bahkan dalam kehidupan sehari hari kalian mungkin sudah mengenalnya bukan? Dialah Agus Wendi yang selama ini diam diam menjelma menjadi seorang pengusaha dan semua barang barang produksinya diekspor ke luar negri bahkan kita sendiri untuk membeli sepatu buatannya cukup mahal bukan, tetapi kalau sama saya jelas tidak.. bhahahah” tawa pak prapto begitu meledak yang seakan akan mengejutkan kami semua disaat kami diam terhanyut mendengarkan ceritanya, “itu lah kehidupan nak, kalian semua sudah saya anggap seperti anak saya sendiri begitu lah kehidupan tidak selamanya yang di atas akan selalu di atas dan tidak selamanya yang di bawah tetap di bawah itu semua tergantung usaha, doa dan ini Hati, kita semua tidak akan hidup damai kalau kita tidak memiliki hati yang bersih dan ketakwaan yang penuh kepada sang pencipta kita maka dari sekarang benahi hati, benahi pikiran tuliskan impian dan cita cita dan jangan lupa dengan usaha dan doamu maka semua akan terasa indah tetapi meskipun kita bermain denggan alam jangan lupa bahwa mencintai sesama dan peduli sesama itu merupakan kebahagiaan yang akan menghilangkan sakit di hati ketika kita mengalami kepedihan, Mungkin kalian sudah cukup puas mendengar cerita saya ini dan saya harap kedepannya saya sudah melihat perubahan besar dari kalian semua untuk bumi pertiwi kita ini betul tidak…?” Serempak kami semua menjawab “iya” dengan penuh antusias dan membara… “Baik saya rasa cukup dari saya Hidup Mahasiswa dan hidup Mapala”,
Dan ketika selesai acara betemu sapa dengan pak sucipto kami duduk duduk bernyayi bersama dengan ditemani oleh api unggun dan ada beberapa teman yang sudah packing karena besok pagi tepatnya setelah subuh kami akan begerak ke atas mendaki gunung Sinabung, Dan selesai pak prapto memberikan arahan sedikit kepada saya dan teman’teman panitia yang lain untuk persiapan besok pagi beliau langsung pergi meninggalkan kawasan danau lau kawar karena jam terbang beliau memang sangat padat, tetapi sejatinya beliau memang ayahnya anak mapala karena beliau jauh jauh rela datang dari Jakarta tanpa bayaran apapun dan hanya dibalas dengan ucapan terimakasih dan sebuah jaket kulit. Beliau tetap tersenyum bangga kepada kami dan beliau sungguh seorang ayah yang teladan dan tak akan terlupakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar